Short Cut Mental : Penebang Tulip Tinggi
“ People Throw
Rocks at things that shine” Taylor Swift
Kita butuh pengakuan dan apresiasi atas pencapaian yang sudah kita lakukan dan merayakannya bersama. Namun pernah dan pasti pernah mengalami kenyataan kesuksesanmu seolah menjadikannya sebagai sasaran kritik, gossip ataupun sabotase.
Ada ungkapan di negara Jepang "paku
yang mencuat akan dipalu" atau "bunga tulip yang tinggi akan dipotong agar
sejajar dengan sekitarnya".
Pernah di posisi sedang
berkembang, sedang proses belajar dan seringkali perilaku itu menonjol tanpa
disadari. Lah yang sadar orang lain, entah kawan bermain atau kawan setim.
Sumber : Google |
Fenomena “Tall Poppy Sindrome”
adalah sikap individu atau masyarakat yang membenci, tidak suka, mengecualikan bahkan mengkritisi serta mengucilkan individu lain karena kesuksesan dan
prestasi yang dimilikinya. Fenomena ini memperlihatkan bahwa individu lain bisa
jadi tidak senang karena kesuksesan yang dimiliki oleh oranglain, tidak
menyukai prestasi orang lain, tidak merayakan atau tidak bangga namun individu
itu akan ditebang selayaknya bunga tulip yang terlalu tinggi dan seringkali
secara tidak langsung terdegradasi secara terang-terangan atau terselubung.
Memotong individu lain dengan
menurunkan nilai prestasinya dan menyatakan bahwa dia tidak pantas
mendapatkan perhatian, menggiring opini dan mematahkan semangatnya. Penelitian di Kanada 9 dari 10 orang yang disurvei ditempat kerja merasa bahwa
pencapaian mereka diremehkan ditempat kerja, dibungkam bahkan ditinggalkan dan
diabaikan.
Kata Taylor Swift,
Siapapun dapat menjadi korban dari Sindrom Poppy ini, tentu saja ada beberapa ciri yang bisa dikenali
- Saat kamu mengalami keraguan dalam berbagi ide,
- Tidak mengejar tujuan
- Tidak nyaman berbagi kabar baik
- Tahan – tahan diri dari merayakan keberhasilan
- Meremehkan pencapaian karena omongan orang lain
- Tampak dikucilkan secara sosial.
Siapapun bisa menjadi penebang bunga
tulip itu, jika dirasa prestasi orang lain dapat mengancamnya.
- Penyebab
individu menjadi pelaku “penebang” tentu saja banyak faktor, namun salah
satunya karena kecemburuan. Kecemburuan: Menurut psikiater Neel
Burton, kecemburuan bukanlah
sekadar keinginan akan sesuatu yang dimiliki orang lain, seperti
keterampilan, kepemilikan, atau pencapaian. Ini juga merupakan
kesadaran yang menyakitkan bahwa anda sendiri tidak
memilikinya. Kecemburuan cenderung ditujukan kepada orang yang kita
bandingkan dengan diri kita sendiri, terlepas dari apakah kita benar-benar
bersaing dengan mereka atau tidak. Orang sering berusaha
menyembunyikan kecemburuan mereka karena itu terkait dengan rasa malu,
yang diekspresikan secara tidak langsung sebagai kritik, gaslighting atau sabotase.
- Harga
diri rendah: Melihat orang
lain berhasil dapat memicu perasaan rendah diri jika seseorang percaya
bahwa mereka tidak mampu mencapai prestasi yang sama. (Sebaliknya,
orang dengan harga diri yang sehat malah mungkin mencoba meniru orang yang
memiliki apa yang mereka inginkan, sehingga mereka bisa mendapatkannya
sendiri.) Alih-alih melihat masalah harga diri mereka sendiri, mereka
menyalurkan rasa tidak nyaman tersebut atau perasaan menyakitkan untuk
merendahkan orang lain.
- Kebencian: Kebencian berkembang ketika emosi
yang menyakitkan tidak ditangani secara efektif dan kesalahan atas
perasaan buruk itu ditimpakan pada orang lain. Kebencian dapat
menimbulkan pikiran negatif yang berulang yang dikenal sebagai
perenungan, yang menghabiskan banyak energi mental tanpa membantu
menyelesaikan masalah yang dirasakan.
- Ketakutan: Seseorang dengan riwayat trauma mungkin mudah terpicu untuk melakukan perilaku defensif yang tidak disadari. Apakah rasa takut itu masuk akal atau tidak? efek psikologisnya nyata. Itu menyulitkan seseorang untuk mengakses bagian otak yang bertanggung jawab untuk interaksi sosial yang kooperatif.
sumber : Google |
Penyebab dari sindrom ini adalah
pandangan bahwa individu lain adalah saingan dan anggapan “aku yang
terbaik bukan dia, bukan mereka hanya aku”. Persepsi bahwa aku yang terbaik dan
memberikan kritikan secara terus menerus dimana kritik itu bukan tujuan
membangun tapi menjatuhkan mental lawan. Orang lain adalah musuh, tidak ada
kawan, kawan hanyalah kata bukan rasa.
Pertanyaan yang sebenarnya tidak
memerlukan jawaban, "dimana tempat berkembangnya sindrom poppy?" tentu saja
jawabannya lingkungan terdekat, bisa dilingkungan pertemanan, persahabatan
bahkan lingkungan kantor yang dekat. Pelakunya tentu saja individu dalam ring
dekat, seperti teman atau individu yang kita anggap teman dan butuh dukungan
dia. Ada studi tahun 2018 yang menemukan bahwa beberapa orang terdekat
berhenti untuk berbagi kebahagiaan dan kesuksesan karena takut dibenci, mereka
membatasi diri dari lingkaran intim.
Cara mengatasinya gimana?
Life's too short to be sittin' round miserable/
And people gon' talk whether you doing bad or good.
~Rihanna~
Saat sudah tahu tanda-tanda dan
perubahan emosi, bahkan dikucilkan...
Stop menghakimi diri sendiri, butuh
untuk berdiam diri, mengenali kembali potensi diri sendiri dan pahami kritikan
yang diterima itu bukan untuk kebaikanmu tapi untuk menjatuhkanmu. Karena itu
kamu harus menyadari dan mengenali siapa "aku", apa potensi-ku dan kelebihan-ku,
dan menyadari kekurangan tanpa menghakimi.
Jika efeknya terlalu parah tidak ada salahnya temui dan curhat pada professional, jangan remehkan dampak dari sindrom poppy ini. Kesehatan mental kita yang utama.
Pahamilah semua ada masanya… semua ada waktunya… kalau bukan sekarang pasti besok-besok. Jangan short cut, karena bukan cuma mental temanmu yang masalah tapi juga mental kamu sebagai pelakunya.
Komentar
Posting Komentar