Tanpa
di sadari saat ini masyarakat kita mengalami krisis kepercayaan, dimana salah
satu penyebabnya adalah banyaknya berita hoax yang beredar di masyarakat.
Berita bohong, ujaran kebenciaan pada kelompok lain terus mewarnai masyarakat kita saat ini. Perbedaan kecilpun
bisa menjadi seperti sepercik api yang dapat menghanguskan sebuah gedung.
Apa
toh penyebab tumbuh suburnya berita hoax di masyarakat kita?
Jawabannya
adalah ketidakcermataan masyarakat dalam memilah berita yang di peroleh, secara
tidak langsung viralnya sebuah hoax juga karena masyarakat yang hanya membaca
judul lalu klik bagikan.
Sesuai
dengan tema kali ini, apa ada kaitan antara hoax dan kesehatan mental?
Hoax
merupakan berita tidak benar, dimana hoax merupakan aliran informasi yang
bersifat massif, seseorang hanya mengandalkan gadget dan kuota saat itupun juga
dapat mengakses informasi. Namun derasnya informasi tidak di sertai dengan
pembelajaran mengenai proses memilah sebuah berita.
Awal
mulanya di picu dari tekanan pilihan politik yang berbeda, lalu merambat pada
ujaran kebenciaan atas kelompok tertentu. Bila meninjau dari masalah ini dapat
ditarik benang merah pada permasalahan Persepsi yang mengarah pada prasangka.
Menurut
Robbins (2003) Persepsi merupakan proses penafsiran atas kesan-kesan yang
diterima oleh individu, kesan tersebut akan di olah menjadi sebuah makna. Persepsi
dapat dikatakan sebagai proses kognitif dalam memahami informasi tentang
lingkungan, dimana proses tersebut dapat berupa proses penglihatan,
pendengaran, penghayatan, perasaan dan lainnya. Proses persepsi selalu
berkaitan dengan proses interpretasi diri terahdap sebuah informasi, dimana
interpretasi ini dipengaruhi oleh factor pengalaman, motivasi dan kepribadian
individu. Saat ini masyarakat kita cenderung memiliki penilaian negative ataupun
positif terhadap situasi lingkungan yang terjadi.
Derasnya
informasi yang beredar di masyarakat memberikan dampak terhadap kesehatan
mental, saat ini hanya dengan membaca sebuah judul berita maka seseorang dengan
mudah dapat emosi, meluapkan emosi dengan kata-kata yang tidak pantas atau
bahkan dapat menimbulkan perkelahian. Istilah sumbu pendekpun menjadi familiar
di telinga kita, perkelahian di media sosial menjadi hal yang wajar di temui.
Berdasarkan
pengamatan saya, terbentuk tiga kubu pengguna media sosial, kubu pertama
merupakan kubu yang cenderung gampang tersulut emosinya dengan berita yang
beredar, lalu memilih untuk menyebarkan, kubu kedua pengguna media sosial yang
sebenarnya juga membaca berita yang beredar tapi tidak menganggap penting untuk
membaginya, dan kubu terakhir adalah kubu yang tidak membaca berita yang
beredar di media sosial.
Satu
kasus yang beberapa hari ini viral tentang berat badan seorang wanita yang
katanya ideal kalo 55kg, lalu respon dari berbagai masyarakatpun beragam ada
yang setuju bahkan ada yang menolak. Kasus ini contoh dari persepsi sosial,
dimana masyarakat memiliki penilaian positif maupun negatif.
Berita teroris yang yang dikaitkan dengan
agama tertentu
Tanpa
di sadari, saat ini ketika melihat sosok laki-laki memakai baju koko, celana
cingkrang atau bersarung, secara tidak langsung muncul pikiran macam-macam,
jangan-jangan dibalik bajunya ada bom, jangan- jangan di tasnya ada bom. Melihat
sosok perempuan memakai jilbab mengenakan tas rangsel muncul pikiran
jangan-jangan dia membawa bom.
Pikiran-pikiran itu merupakan bentuk dari prasangka. Prasangka
(prejudice) adalah sikap yang cenderung
negatif terhadap anggota kelompok tertentu. Menurut taylor (2012) prasangka
sosial merupakan sebuah evaluasi negative terhadap kelompok atau seseorang
berdasarkan keanggotannya.
Berbagai
macam berita yang beredar di masyarakat ememberikan dampak munculnya prasangka
di masyarakat. pemberitaan dan postingan yang terus menerus mengenai kejadian
tersebut secara tidak langsung turut berperan menyuburkan prasangka. Efek
pemberitaan mengenai terori yang dikaitkan dengan agama tertentu memberikan
efek kecemasan dan ketakutan bagi masyarakat.
Saat menerima berita, tanpa
disadari kita menyederhanakan lingkungan sosial dengan membuat persamaan
karakter dengan kelompok tertentu, misalnya berita mengenai sosok A yang menjadi
terduga teroris, maka saat itu pemikiran masyarakat di giring untuk masuk ke
kelompok tersebut, lalu terjadinya persepsi ingroup dan outgroup. Contoh lain
pemberitaan mengenai calon pemimpin daerah yang identik dengan kelompok
tertentu, maka masyarakat akan berpikir calon pemimpin itu mendukung satu
kelompok saja. Persepsi ini mulai membangkitkan prasangka sosial terhadap
orang-orang yang berada di luar kelompoknya (Baron dan Byrne,2012).
fenomena inilah yang terjadi di
beberapa kelompok masyarakat kita. Prasangka sosial yang tidak segera diredakan
akan memicu perbandingan sosial yang fokus pada perbedaan kelompok. Tak heran
bila sekarang ujaran kebencian terhadap individu maupun kelompok tertentu sangat
mudah ditemukan. Kelompok ingroup cenderung memandang
rekan-rekannya lebih baik, lebih menyenangkan, dan lebih positif dibandingkan
kelompok di luar mereka. Hal ini sesuai dengan salah satu sumber terjadinya
prasangka menurut Baron dan Byrne (2012) yaitu faktor efek “kita” versus
“mereka”. Selain itu faktor lain terjadinya prasangka sosial adalah pengalaman
belajar di masalalu dimana kelompok sekarang akan mendapatkan label dari
perilaku kelompoknya di waktu lalu, dan yang ketiga adalah sumber kognitif dari
prasangka.
Berita hoax, info provokatif,
dan ujaran kebencian ibarat api kecil yang bila terjadi terus menerus dapat
menghanguskan sebuah bangunan. Jika terus dibiarkan, masyarakat akan hidup
dalam prasangka sosial, menumbuhkembangkan streotipe kelompok, dan tentu saja
rentan terpapar masalah mental. Sehat mental merupakan sebuah keseimbangan
antara kesehatan fisik, emosional, sosial, dan spiritual. Rasa curiga tanpa
alasan terhadap kelompok tertentu adalah indikasi masalah mental yang cukup
serius. Prasangka ini tumbuh subur karena kebiasaan masyarakat yang dengan
mudahnya memviralkan sesuatu.
Semua orang dapat menjadi
pewarta hanya dengan bermodalkan gadget dan kuota, sesuatu yang patut di ingat
saat menggunakan media sosial maka saat itupula kita meninggalkan rekam jejak
digital, bijaklah menggunakan media sosial.
credit by google |
Komentar
Posting Komentar