Waktu masih kecil, anak selalu
berada disamping orangtuanya, orangtua
selalu mendampingi anak dari bangun tidur, menyiapkan segala perlengkapan dan
kebutuhan hingga sang anak beranjak remaja. Saat remajapun anak masih berada
dalam jarak dekat dengan orangtuanya. Seiring usia berjalan, sang anak beranjak
dewasa, biasanya dimulai ketika sang anak memilih untuk melanjutkan pendidikan
di universitas yang jauh dari rumah, saat itulah babak awal kehidupan anak dan
orangtua akan dimulai. Sang anak harus beradaptasi dengan ketidakhadiran
orangtua disisi mereka, begitupula dengan orang tua harus beradaptasi dengan
ketidakhadiran anak disisinya. Pada awalnya orangtua selalu khawatir, ketika
pertama kali jauh dari rumah orangtua bisa menelpon 3x sehari bahkan lebih
hanya untuk memastikan anaknya sudah makan. Fase adaptasi yang dialami oleh
orangtua tidak berhenti saat anak memutuskan melanjutkan pendidikan, adaptasi selanjutnya
yang harus di alami oleh orangtua saat anak bekerja atau menikah.
Mbahbuk adalah nenek dikeluarga
kami, mbahbuk adalah ibu dari mama. “Ca, ojo ngampus yo, temenin mbah.” Setiap
hari percakapan itu selalu menjadi kata pengantar dari mbah, dan selalu ada
adegan tangan mbah menggenggam tangan saya setiap pamitan keluar rumah. Pada
suatu sore, mbah tiba-tiba berkata “ca,aku arep nang rumah sakit” loh kenapa
mbah ? timpal saya. Mbah membalas “nang rumah sakit ramai, akeh sing jenguk
aku, mamamu kapan datang, bude kapan datang om kapan datang?”. Mendengar mbah berkata seperti itu seketika
saya kaget dan tak bisa berkata apa-apa hanya senyum dan berbalik badan
menyembunyikan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca. Kejadian seperti itu hampir
setiap saat saya hadapi.
Saya tinggal bersama mbahbuk, sosok
ibu yang usianya sudah sangat tua, beliau selalu menangis saat menelpon anaknya
atau anaknya tidak menjawab telepon darinya. Handphone menjadi barang wajib
ditangan mbah. “Ca, hpku mana?” aku mau telpon anakku. Pernah suatu ketika dari
sore hingga malam mbahbuk nangis, penyebabanya sepele, menunggu telpon anaknya.
Dalam setahun, belasan kali mbahbuk dalam kondisi tidak stabil, suatu ketika
saya mendampingi beliau di ambulance hingga masuk ruang Unit Gawat Darurat
(UGD) dan mbah selalu menggengam tangan saya seperti berkata jangan pergi,
temanin mbah disini.
Kejadian yang di alami mbahbuk bisa
disebut dengan istilah sarang kosong. Awal sarang kosong dimulai saat anak
memilih melanjutkan pendidikan di tempat yang jauh dari rumah, saat anak
bekerja ataupun saat anak menikah. Pembaca
pasti bertanya-tanya apa sih sarang kosong itu? Sarang kosong atau Empty nest
Sindrom merupakan perasaan kosong yang dialami oleh orangtua saat anak
meninggalkan rumah. Kenapa ada istilah sarang kosong? Santrock (2002) mengatakan
keberadaan anak bersama orangtua memberikan kepuasaan bagi orangtua. Saat anak beranjak meninggalkan rumah maka
orangtua akan merasakan kesedihan ataupun kesepiaan. Hal yang normal jika orang
tua merasa sedih ketika ditinggal anak-anaknya. Setelah terbiasa hidup bersama
anak puluhan tahun, rasa kehilangan, kekosongan hadir.
Sarang kosong merupakan suatu
perasaan yang wajar di alami oleh orangtua kita. Dari hasil wawancara yang
penulis lakukan dengan seorang ibu yang bisa disebut sebagai bude “ setelah
bude berumur 50 tahun ke atas perasaan bude semakin sensitive, sering nelongso
kalau berkomunikasi dengan anak dengan nada tinggi, kadang aku merasa di bentak
oleh anakku”. Perasaan sensitive, perasaan nelongso merupakan beberapa perasaan
yang di hadapi oleh orangtua yang terkena sarang kosong. Perasaan sarang kosong
yang melanda orangtua bisa di kurangi dengan keberadaan anak atau orang
terdekat yang berada di lingkungan.
Penulis sebagai seorang yang secara langsung
mendampingi lansia berbagi mengenai langkah untuk mendampingi lansia. Prinsip
utama yang harus di pahami adalah lansia butuh pendamping yang sabar dan
mengerti mau mereka, lansia memiliki perasaan yang sensitive entah emosi marah
atau emosi sedih secara berlebihan. Caregiver atau pendamping lansia harus memberikan pengertian mengenai keadaan yang
saat ini di rasakan oleh mereka, memberikan pengertian saat mereka menanyakan
keberadaan anak mereka yang jauh, menjelaskan dengan sabar aktivitas anak
mereka. suatu saat kalau ada libur pasti akan berkunjung, caregiver juga
haruslah mempunyai skill mendengarkan karena mereka akan terus bercerita
mengenai kehidupan mereka di waktu lalu. Skill utama yang harus di miliki oleh
caregiver atau pendamping lansia adalah sabar.
Siapkah saya mengalami sarang
kosong? Pertanyaan seperti itu terkadang terlintas di benak kita, benak orang
tua kita, beberapa kali saya membaca status facebook teman, saudara yang
mencurahkan perasaan mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak yang semakin
besar, jangan cepat gede ya nak, waktu tidak terasa kamu semakin dewasa anakku,
sebentar lagi akan sekolah yang jauh. Cepat atau lambat sarang kosong akan
menyapa sebagai orangtua kita harus menyiapkan diri. Pengamatan yang penulis
lakukan terhadap orangtua, setiap orang tua harus memiliki kegiatan yang
positif misalnya melakukan kegiatan yang di sukai entah memasak atau merajut,
memperbanyak ibadah dan bersosialisai serta mengatur waktu untuk berkunjung
atau berpergian bersama anak dan cucu. Satu hal yang menjadi aspek penting
dalam mencegah sindrom sarang kosong adalah kasih sayang dan dukungan sosial
dari keluarga, tetangga.
Saat ini saya mendampingi mbahbu, besok saya
akan mendampingi orangtua dan mertua saya, dan nantinya saya yang akan
didampingi oleh anak dan cucu. Suatu saat kita meninggalkan rumah dan suatu
saat nanti kita akan ditinggalkan dirumah sendiri. Siklus itu akan terus
terulang dengan pihak-pihak yang berbeda. Waktu terus berjalan, sarang
kosongpun akan menyapa. . Pesan penulis untuk semua anak yang berada jauh dari
orangtua sempatkanlah telpon orangtua menanyakan kabar dan bercerita mengenai
aktivitas dan kalau ada waktu kunjungilah orangtua, kehadiran anak merupakan
obat paling mujarab bagi orangtua kita.
(Ilustrasi gambar : Google)
Komentar
Posting Komentar